Thread Rating:
  • 0 Vote(s) - 0 Average
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
Apa yang bisa kita sumbangkan buat kemajuan Pendidikan Kedokteran Indonesia ?
#11
Quote:dari alumni mana ya? kalau boleh tau?

humm begini AFAIK beberapa negara memang membuat seperti itu sesudah mereka dokter mereka akan dilatih lagi "magang" di bidang yg disebutkan, dan selama sebelum menyelesaikannya mereka tidak boleh untuk praktek sendiri diluar rumah sakit atau pusat kesehatan, dan untuk eropa mereka boleh memilih 2 dari 4 bagian kalau saya tidak salah, yaitu obs/gyn, pediatric, interna, surgery sama public health, karena mereka hanya kurang lebih 1 bulan di bagian bagian tersebut ketika koas, dan tidak menerima pasien secara langsung, beda dengan di kita bukan? di koas untuk bagian bagian besar kita di wajibkan selama 12 minggu setidak tidaknya itu di jaman saya masih koas, kalau sekarang ada yg di discount menjadi 10 minggu.
Kalau memang pemerintah indonesia mau memberlakukan pendidikan seperti PBL seharusnya sekolah untuk spesialis di perbanyak, karena ya itu tadi, di luar negeri mereka spesifik, sedangkan kita di indonesia, sendirian menangani semua, apalagi kalau di daerah yg jauh dari mana mana. masih ada tu teman yg SC atau apendictomie cito karena tidak mungkin di rujuk (ayo yg pernah melakukan ketika PTT di daerah sangat terpencil ayo acung jari)
[post=28=501]
tidak bermaksud unjuk jari karena pernah ptt di daerah sangat terpencil.. tapi ngebayangin temen2/senior2 yg ptt di daerah sangat terpencil.. sangat sulit dibayangkan output kurikulum baru mampu... wong nampaknya lebih "priyayi" dari dokter....
[Image: Hypno_Smiley.gif]
Reply
#12
heheh priyayi ini maksud nya manja? wakaakka kejam kamu bro ^_^ sebenarnya kalau gue bilang bukan manja, tapi memang mereka didik ke arah sana.
Nah sekarang bisa ngga kita bilang mereka manja, kalau mereka memang blom dan tidak tahu caranya.
contoh OB (wah ob mulu ni contohna ^_^) tau ngga dokter umum itu di jaman kita harus bisa apa aja? di safemother hood ada loh. disana disebut minimal kita bisa histerek tomie, bisa SC walau hanya tehnik korporal. dulu waktu koas gue dipaksa tu makan tehnik histerek tomie plus sama tehnik sc corporal (walau ada juga yg kasih bonus ajarin penestiel) awalnya gue binun, ini kan kerjaannya dokter spesialis, tapi ternyata memang di buku itu salah satu tuntutan untuk dokter umum minimal harus bisa itu, kalau temen temen yg lain ngga percaya coba safe motherhood bagian modul modul terahkir, pasti ada disana. lengkap dengan how to do it. nah artinya apa? dulu kita dipaksa untuk tau segala dalam waktu yg sesingkat2 nya (weks kayak proklamasi), dengan catatan bila disana tidak ada ahlinya dan tidak mungkin untuk di rujuk.
diorthopedi gue di ajarin casting (weks bukan jadi bintang pilem ni, tapi bikin cast/ngegips), reposisi sederhana, pasang beban, fixasi dan kawan kawan yg ternyata berguna waktu gue PTT, dibedah gue diajari apendictomie (wajib bisa ni, setidaknya disaat saya dulu koas) dan di kasih bonus skin de graft yang walau nga kepakai waktu ptt (wajar kayaknya ngga kepake waktu PTT bukan?, note semua yg saya tulis diatas saya di suruh menjadi operator 1 dan diawasi oleh consulen langsung yg menjadi operator 2, yang gue menjadi asistennya ngga gue sebutkan) tetep itu menunjukan kalau kita didik untuk bisa segala kalau gue bilang tukang, walau pasti nanti nya agak kagok waktu awal mengerjakan tapi karena pernah mengerjakannya, disaat terdesak mungkin akan lebih bisa mengerjakannya dibandingkan yg belum sama sekali pernah mengerjakannya, gue dapat petuah sebelum PTT "di negeri orang buta, orang picek bisa jadi sangat berguna"

Nah back to topic, kalau memang pemerintah mau full PBL, ya setidaknya siapkan dokter spesialis di mana mana, artinya buka program spesialis sebanyak banyaknya.
tapi kalau pemerintah tidak mampu membuat sekolah spesialis yg banyak dan masih belum bisa mengirim dokter spesialis sepeti mengirim dokter PTT (wong PTT aja katanya pemerintah dah mulai kembang kempis)
mungkin sistem pendidikan kedokteran ala PBL perlu di review. kebayang ngga nanti kalau adik adik kita nanti disuruh mengerjakan sesuatu dan ternyata ada masalah? apa nanti ngga di tuduh malpraktek? nah kalau ngga di kerjain, apa nanti rela tu pemerintah, adek adek kita di kejer kejer sama golok oleh keluarga pasien?
nilai teori tidak sama dengan nilai praktek, kadang anak berIPK besar sekali pun belum tentu bisa mengerjakan sesuatu kerjaan yg menuntut skill, sebagain besar karena mereka tidak mempunyai kesempatan waktu koas untuk mengasah skill klinisi mereka walau pun dengan sistem lama, well kalau masalah ini mungkin teman teman sebagaian besar sudah tau penyebabnya apa, kebanyang ngga kalau nanti adek adek yg koas ala PBL dapat apa saja karena sistem mereka yg menuntut demikian, IPK pun bukan segala galanya, walau ada temen saya yg sudah IPK nya gede tapi skill nya manteb (heheh yup I talking about you lapuma), dan diluar negeri karena ini pula lebih banyak anak med school kalau disuruh memilih mereka memilih jadi dokter peneliti bukan dokter clinisi, ngga usah jauh jauh, negara tetangga kita begitu kok, makanya ketika salah satu kenalan sekolah disana untuk penelitian, beliau juga di ajak untuk praktek, karena disana kebanyakan dokter peneliti bukan dokter klinisi, walau negara tersebut lumayan sangat terkenal dengan berbagai peneliiannya di dunia kedokteran.
karena itu penyebabnya dunia kedokteran sering juga di sebut seni. "the art of medicine"

Tapi kedua sistem ada untung ada ruginya, sistem PBL IMHO (in my humble opinion) lebih cocok untuk negara yg mempunyai sistem kesehatan yg sudah bagus. tidak cocok dengan negara berkembang. dimana disana sudah banyak fasilitasnya. Nah keuntungannya lain, berguna bagi masyarakat umum, karena mereka mendapatkan dokter yg spesifik. bukan dokter ala missionaries, tapi apa masyarakat kita mampu untuk itu? yg kemampuan financial masyarakat kita saat ini kurang baik, nanti kalau misalnya ahlinya tidak ada disuatu daerah, dan untuk penyakit tersebut dia harus kedaerah lain apakah mereka mampu? bukannya sudah cerita umum bagi temen temen yg sudah PTT atau sedang PTT mendapatkan kata kata keluarga pasien "dok daripada di rujuk kesana dan kemudian meninggal juga, kenapa tidak dokter tolong saja dengan segala kemampuan dokter, karena kalau meninggal disana, saya harus bawa lagi pulang untuk di kuburkan, dan saya tidak punya biaya untuk itu" saya yakin pasti pernah. semua pasti pernah mendapatkan kata kata yg mirip seperti itu, walau tidak selalu sama isinya. dan untuk negara eropa mungkin kata kata ini tidak pernah mereka dengar.

Jadi semua itu berpulang kembali ke pemerintah, dan para administrator pendidikan dokter di Indonesia, untuk memikirkan untung ruginya. Toh sebagain besar administator itu sudah pernah dalam posisi kita yg juga pernah ada di ujung indonesia tercinta ini.
[Image: aliensign.jpg]
Reply
#13
bro alien...
nampaknya dari fakta yg ada ini... bahwa administrator pendidikan dokter kita mereka berasal dokter yg peneliti.. bukan klinisi yg sempet ptt ke daerah terpencil...

well... semua tetep akan berjalan maju.... tentu dalam waktu deket alias sesingkat2nya akan ada cara untuk memoles kebenjolan2 ini...
semoga...

[Image: 3220.gif]
Reply
#14
huhahahah gue jadi bingung, fokusnya di mana ya? apakah sistem pendidikan yang jelek sehingga dokternya jadi ga bermutu? ato sistem pendidikan yang ga maching dng permintaan pasar? ato.....? somebody help me...plessssss.... gue rasa smua harus punya orientasi, kalo orientasinya ke pasar yang pasti sistem pendidikan harus berorientasi ke pasar, permasalahannya pasarnya gede, coba kita pilah berdasarkan wilayah, tanah air kita luasnya minta ampun, so pasti tingkat kebutuhan akan kulifikasi dokter juga berbeda walaupun penyakit tetap sama, papua tentu beda dng jakarta, baik dari sarana pendukung dan ketrbatasan sistem rujukan.... itu masih masalah klasik, dokter yang dididik di jakarta terjun ke papua? coba kita liat iklan, "bank yang mendunia dengan tradisi anda".... tambah pusing kan?... kalo kita bicara sistem, kayaknya harus bicara apa yang menjadi orientasi dan fokus dari pembuat kebijakan... mari kita dari PASARAN DOKTER itu arahnya kemana????????????????????????????????????????????
Reply
#15
Quote:bro alien...
nampaknya dari fakta yg ada ini... bahwa administrator pendidikan dokter kita mereka berasal dokter yg peneliti.. bukan klinisi yg sempet ptt ke daerah terpencil...

well... semua tetep akan berjalan maju.... tentu dalam waktu deket alias sesingkat2nya akan ada cara untuk memoles kebenjolan2 ini...
semoga...

[Image: 3220.gif]
[post=28=765]

yup makanya geu bilang sebagian besar. ngga semuanya memang, apalagi yg baru baru ^_^ (baru disini yg baru mengabdi dibawah 10 thn ya)
amien semoga.

Quote:huhahahah gue jadi bingung, fokusnya di mana ya? apakah sistem pendidikan yang jelek sehingga dokternya jadi ga bermutu? ato sistem pendidikan yang ga maching dng permintaan pasar? ato.....? somebody help me...plessssss.... gue rasa smua harus punya orientasi, kalo orientasinya ke pasar yang pasti sistem pendidikan harus berorientasi ke pasar, permasalahannya pasarnya gede, coba kita pilah berdasarkan wilayah, tanah air kita luasnya minta ampun, so pasti tingkat kebutuhan akan kulifikasi dokter juga berbeda walaupun penyakit tetap sama, papua tentu beda dng jakarta, baik dari sarana pendukung dan ketrbatasan sistem rujukan.... itu masih masalah klasik, dokter yang dididik di jakarta terjun ke papua? coba kita liat iklan, "bank yang mendunia dengan tradisi anda".... tambah pusing kan?... kalo kita bicara sistem, kayaknya harus bicara apa yang menjadi orientasi dan fokus dari pembuat kebijakan... mari kita dari PASARAN DOKTER itu arahnya kemana????????????????????????????????????????????
[post=28=770]

nope bukan gue bilang kualitas dokter buruk bro, tapi dengan sistem yg kayak sekarang atau yg akan di terapkan oleh beberapa center yg belum menerapkan, apa keuntungan dan kerugian yg diperoleh. itu yg mau gue kasih liat.
Gini dokter itu bukan barang IMHO dan menurut gue tidak ada dokter permintaan pasar, kenapa? karena dokter ada standart yg harus dia lakukan, dan tiap negara ini berbeda, makanya gue setuju dengan ada nya UKDI dan KKI
Kalau sesuai permintaan pasar kita bilang, coba gini, apa kita perlu punya dokter yg banyak tapi standar kualitas yg tidak memadai untuk daerah terpencil?
Nah standarisasi ini, tidak bisa di berlakukan untuk satu wilayah saja, tapi harus satu negara. kenapa? karena kalau dibuat seperti itu, yg ada pemenuhan tenaga kesehatan terampil akan sangat kurang ke daerah daerah tertentu. sekarang saja yg banyak yg mau ke daerah terpencil pasti ada yg tidak mau bukan? apalagi kalau stadarisasi ditetepkan perwilayah, apa akibatnya?. Apakah pemerataan pelayanan kesehatan akan tercapai?

Nah seperti yg kita lihat di negara tetangga, walau negra tersebut mempunyai stnadar tersendiri dan ditetapkan pada satu negara tersebut, tetapi karena memiliki sistem yg berbeda dengan Indonesia yg notabene mengunakan paham dokter missionaries, agar bisa ditempatkan dimana saja, dokter klinisi jumlahnya sangat kurang di bandingkan dokter peneliti yg memang tidak di ijinkan praktek.
padahal negara itu ngga sebesar Indonesia, walau ada juga bagian terisolirnya. dan kekurangan dokter klinisi mereka tidak hanya ada di daerah isolir loh, di kota pun demikian, makanya gue sempat ceritakan, ada keluarga yg melakukan penelitian disana, karena melakukan penelitan untuk yg di kajianya tersebut di Indonesia susah, dan ketika beliau melakukan penelitian disana beliau di tawari praktek klinisi disana langsung oleh pihak universitas itu sendiri melalui prof yg berkerjasama dalam penelitian tersebut untuk selama di negara mereka, beliau praktek juga sebagai klinisi di negara tersebut. (karena penelitian tersebut di wilayah mereka wajib ada peneliti dari mereka, dan yg menjadi pembimbingnya adalah prof tersebut). Dan itu juga salah satu penyebab kenapa ada sebagain warga negara mereka bersekolah ke negara kita, alasanya apa? karena di indonesia menganut, dokter = klinisi= praktek bukan karena pendidikan dokter disana buruk loh, malahan kalau di bidang penelitian, kita mau tidak mau harus mengatakan kita kalah sama mereka. tetapi yg sekolah kesini itu mencari tidak hanya pengetahuan, tapi skill untuk klinisi.

Nah ada yg mau gue tanya balik bro, gue takut salah presepsi dengan kata kata elo.
kata kata
Quote:so pasti tingkat kebutuhan akan kulifikasi dokter juga berbeda walaupun penyakit tetap sama
kira kira maksudnya apa ya? gue kurang mengerti, apakah maksud elo khusus untuk daerah terpencil dokter tidak perlu mempelajari banyak hal karena alat nya disana yg kurang? atau malahan harus mempunyai banyak bekal pengetahuan dan skill karena alatnya kurang? kualifikasi mana yg elo maksud?

*selfnote diskusinya jadi tambah menarik nih
[Image: aliensign.jpg]
Reply
#16
oke... secangkir kopi dinikmati akan lebih memcairkan suasana..... begini, kata pasar gue pilh karena menyangkut service,demand and reward, secara pribadi istilah itu lebih kena sama gue, sorry kalo agak kasar, tidak dipungkiri bahwa tingkat kebutuhan dari sebuah negara akan bertingkat diliat dari sistem ksehatan dari yang preventif, kuratif, sampe rehabilitatif dan penelitian tentang kedokteran, dinegara kita juga akan bertingkat, dan dokter tentu saja berperan didalamnya, yang menjadi masalah tingkat kebutuhan masyarakat sebagai pasar lebih besar di ranah kuratif dan hal itu mungkin dipicu oleh daya beli yang menyeret kita tumbuh menjadi doter klinisi yang dicetak institusi pendidikan... dokter klinisi.... pemenuhan kebutuhan pasar oleh institusi pendidikan.....

kita masuk ke masalah standarisasi kompenensi dokter, tak ada yang menolak itu, saya setuju, kki juga sudah mengeluarkan buku tentang standar kompetensi dokter cetakan pertama 2006, disana tertulis seksio dalam nilai 2, yang artinya pernah melihat atau didemonstrasikan kita sudah dianggap kompeten,halaman 98, nah loh...... sekarang kita liat ts yang ptt di pelosok, kebutuhan nya apakah sekedar melihat? pertnyaannya lagi, seberapa banyak dokter yg didaerah terpencil?haruskah standar kompetensi dirubah untuk mengakomodasi ts tersebut? karena standard kopetensi kki itu yang jadi rujukan institusi pendidikan, dalam hal ini institusi pendidikan sbagai eksekutor kebijakan.... bagai mana solusinya? mari kita liat istilah bank reputasi dunia bertadisi anda, gue melihat istilah itu hal yang menarik, dokter dng reputasi nasional (memenuhi standard kompetensi dokter) beradaptasi dng kebutuhan setempat, caranya? apakah perlu pendidikan khusus untuk dokter yang mau terjun ke daerah terpencil? waw.... perlu pendalaman...

masalah pencetakan doter spesialis sebanyak2nya? hehehehe akan terbentur juga masalah distribusi, blum ada peraturan yang mengharuskan spesialis mengabdi di daerah...........

rasanya banyak yang terlibat, intitusi pendidikan sebagai eksekutor menjalankan amanat apaadanya, ekpektasi masyarakat yang tinngi, kewajiban pemerintah menjaga kesehatan masyarakatnya, dan kebutuhan dokter... dokter jg manusia...

so karena kopi dah habis; kututup aja dgn beberpa baris, sulit menciptakan dunia yang nyaman, pastinya istitusi pendidikan harus berpatron kepada standard kompetensi dokter untuk mencetak tenaga dokter, dan mungkin sudah waktunya pemda harus nyisihkan dana untuk memberikan beasiswa kepada purta daerah untuk menjadi dokter umum dan mengabdi di daerah asal, dan menyekolahkan dokter setempat menjadi spesialis sudah barang tentu nyicil fasilitas pendukungnya... bobo dulu ahhh sorry para senior kalo kurang sopan
Reply
#17
hehhe apa bahasa gue terlalu keras ya bro sorry kalau iya, perasaan bahasa gue normal ya ^_^

mungkin yg anda maksudkan adalah layanan kesehatan yg meningkat, benar untuk masalah itu tidak bisa di pungkiri, makin maju suatu negara makin meningkat kebutuhan layanan kesehatan, contoh untuk bayi tabung, tapi tidak semua negara yg berkembang proyek bayi tabung nya mengalami kendala dan kalah dengan negara maju, ada beberapa negara malahan proyek bayi tabungnya terbilang maju dikarenakan kebudayaan negara tersebut, saya ambil contoh India, di India malahan disediakan ibu untuk membawa bayi tabung tersebut bila wanita yg ingin melahirkannya secara fisik tidak dapat membawa bayi tersebut (alasan bentuk uteri dan lainnya). akibatnya apa otomatis tehnik pembuahan di luar pun untuk negara yg sedang berkembang india cukup maju di bandingkan negara berkembang lain. karena mereka lumayan sering melakukannya, malahan di negara maju dimana pengunaan ibu lain untuk membawa bayinya di larang atau sangat jarang dilakukan, di india malahan ibu tersebut disediakan. AFAIK makin sering melakukan sesuatu semakin baik tehnik yg di gunakan bukan? Nah mungkin kalau di negara lain yg taraf ekonomi nya lebih kecil dari indonesia, mereka tidak akan berpikir kearah sana, bisa jadi malahan mereka akan menikah lagi dengan yg lain... padahal kelainan bukan pada wanitanya... tapi tetep saja itu yg terjadi, karena mungkin bagi mereka lebih "ekonomis" menikah lagi daripada harus repot repot dengan cara lain ^_^

untuk masalah tindakan, saya rasa tidak, bukannya di dunia kedokteran atau setidaknya untuk di indonesia sudah jelas, apabila ada yg lebih ahli harus dilakukan oleh yg lebih ahli dan berkompeten. tindakan hanya bila disaat tidak memungkinkan atau emergency aka CITO dan menyangkut nyawa baru tindakan tersebut bisa di lakukan oeh dokter yg tidak berpengalaman di bidang tersebut. Jadi bukan elektif itu maksudnya menurut saya. nah disana di katakan dianggap berkompeten bila syarat syarat tersebut terpenuhi. banyak aturan yg berlaku di dunia kita bukan? dan ada banyak peraturan yg tidak tertulis yang menyangkut masalah moral dan lainnya, di dunia medis peraturan kita itu saling melengkapi bukan saling mengugurkan contoh mudah gini.
Anda melakukan kuretase di klinik pribadi anda atau tempat praktek pribadi anda dijakarta, padahal anda adalah dokter umum ... menurut anda boleh tidak ^_^ hanya kuret loh... coba anda jawab.

Humm apakah anda pernah PTT sebelumnya? saya yakin mungkin sudah, tetapi mungkin di daerah anda, anda tidak mendapatkan pendidikan khusus, di tempat saya dahulu PTT, dinkes setempat beberapa kali melakukan pelatihan untuk meningkatkan skill dan pengetahuan dokter mereka, dalam artian tidak hanya dokter yg sedang PTT dokter yg tidak sedang PTT pun diajak untuk mengikutinya. Walau dalam pelaksaannya di tempat saya tidak terlalu mendalam seperti ketika koas atau di rumah sakit pendidikan, tetapi itu lumayan untuk refresh bukan ^_^, jadi yg anda katakan itu untuk beberapa daerah sudah melakukannya lebih dahulu. sesuai dengan kemampuan daerah itu sendiri. saya setuju dengan anda, mungkin perlu diadakan pelatihan khusus untuk dokter PTT yg di tempatkan di daerah tertentu. tetapi kembali lagi, apakah pemerintah mau dan mampu? mau saja tidak cukup untuk ini.
Nah saya sudah bahas berkali kali tadi bukan? dengan waktu yg kita peroleh dalam pendidikan apakah kita mendapatkan apa yg seharusnya kita lakukan? coba anda jawab dengan jujur, saya beranggapan anda adalah dokter yang didik dengan cara lama alias 12 minggu di bagian besar minimal, apakah anda sempat jadi operator satu untuk beberapa kasus yg anda harusnya bisa? contoh mudahnya app, kuretase, vacum, forcep atau beberapa kasus lainnya berapa kali? apa anda merasa cukup?. coba anda bayangkan bila waktu tersebut di potong, apakah kesempatan adik adik kita akan lebih besar mendapatkannya? Kalau anda tidak merasa cukup bagaimana dengan adik adik kita? kita sama sama dokter jadi kita sama sama tahu bukan kalau tiap manusia itu unik, generalnya memang sama bentuknya, tapi variasinya sangat banyak bukan?
Dan apakah anda akan terbayang, bukan hanya pelatihan khusus untuk daerah terpencil saja yg harus didapatkan nanti kalau adik adik kita itu akan bertugas ke daerah yg anda sebutkan diatas, mungkin kelasnya sudah sama dengan dokter ahli (lamanya pendidikan) kalau sudah di cut di awal, dalam artian misal koas atau pendidikan dokter nya di cut, sedangkan mereka sendiri mungkin belom sama sekali mendapatkannya, berapa lama lagi waktu yg harus di lakukan untuk mendidik agar bisa makin terampil? apakah waktunya akan sama saja ahkirnya dengan pendidikan dokter ahli?. Karena jangankan bicara mengenai sistem baru, sistem lama saja saya yakin perolehan kasus ketika masa pendidikan tiap dokter berbeda walau tidak jauh. jangankan beda center, anda yg sama saja waktu, tempat pendidikanya saja bisa berbeda, ingat kah anda ketika anda koas? anda dapat berapa? anggota yg sama dalam kelompok anda dapat berapa? apakah sama kualitas dan kuantitasnya?

humm anda pernah mendengar WKS? walau masih terbuka untuk seluruh pulau indonesia, tetapi saya rasa wajar, karena memang dokter ahli masih sedikit di Indonesia terutama kalau anda membandingkannya dengan dokter umum ^_^

Yup saya setuju dengan anda, untuk itu perlu banyak aspek yg terlibat, tidak hanya satu sisi melihatnya, karena itu diskusi ini menjadi menarik bukan? ^_^

Saat ini saja, sudah banyak pemda yg menyekolahkan dokter dokter umum mereka untuk menjadi dokter spesialis, ada beberapa program untuk itu, bila anda ke center anda untuk menanyakannya, mungkin anda akan menemukan beberapa nama program yg mungkin asing di telinga kita, mulai dari yg namanya pendidikan dokter spesialis daerah, dokter ahli bantuan bank dunia, ADB sampai dokter daerah. dan mereka yang dari daerah tersebut itu full di dukung oleh pemda setempat yg niat dan uangnya cukup. dan sebagai informasi, bayaran atau uang sekolah untuk calon dokter ahli daerah ini sumbanganya jauh lebih besar daripada bila anda mendaftarkan diri dari perseorangan dibeberapa center, kenapa? karena ada beberapa center tersebut berangapan bila dari perseorangan lebih "tidak mampu" daripada dari daerah yg memang punya dana khusus untuk itu, besar dananya tiap tiap center berbeda, kembali lagi, bila anda ingin tahu lebih banyak, coba jalan jalan ke center tempat anda dahulu lulus, nanti akan ada table dana pendidikan, dan coba bandingkan dengan dana pendidikan perseorangan. Tapi tidak semua Pemda punya niat dan uang yg cukup bukan?
Untuk informasi kalau anda tertarik untuk melanjutkan pendidikan (bila anda belum mengikuti pendidikan dokter spesialis) mungkin anda bisa mencoba PTT ke daerah indonesia bagian tengah, tepatnya wakatobi. AFAIK saat ini mereka sudah mengirim beberapa dokter untuk pendidikan dokter spesialis, dan mereka masih membutuhkannya. itu yg saya tahu, masih banyak sebenarnya bagian daerah lain, tetapi karena saya tidak tahu pasti, yg saya tahu pasti yang kesempatanyanya paling besar untuk menyekolahkan dokternya adalah wakatobi, maka saya hanya menginformasikan itu kepada anda. Tapi ingat, dari peraturan yg saya tahu untuk dokter dokter yg di sekolahkan tersebut, nanti bila mereka sudah angkat brevet, Ijasah dokter ahli tidak akan di berikan kepada yg bersangkutan, tapi akan di kirim langsung ke daerah yg mengirimkan, itu dari informasi yg saya terima, ini di lakukan untuk menghindari yg bersangkutan "mangkir" dari perjanjian yg sudah di buat. Jadi bila tidak mau berkerja disana dan menyelesaikan kewajiban disana, ya sebaiknya jangan kesana ^_^.

heheheh senang bisa berdiskusi, dan saya mohon maaf karena reply saya yg panjang, karena bagi saya tiap cara pandang orang berbeda, itu menyebabkan menjadi menarik. kalau seragam saja cara pandang dan berpikir orang, manusia tidak akan menjadi mahluk yg menarik. ^_^
[Image: aliensign.jpg]
Reply
#18
hahahahaha kata2 yang menerik dari pandangan anda yang menarik adalah "terampil" hal yang menggelitik, saya rasa beralasan jika institusi pendidikan memangkas waktu pendidikan satu hal banyak staandard kompetensi yang mmempersyaratkan "melihat" sudah dianggap kompeten, jauh dari makna terampil itu sendiri, yang kedua berubahnya status hukum institusi negeri yang membuat mereka membuka program khusus penerimaan mahasiswa untuk subsidi silang pembiayaan operasinal otomatis membuat jumlah mahasiswa yg membludak tampa dibarengi dngn penambahan rumah sakit pendidikan.... hal tersebut jauh dari kondisi ideal terampil..... saya rasa permasalahannya bukan hanya waktu pendidikan...... walaupun semua alasan diatas bukan menjadi pambenaran saya rasa bisa jadi bahan renungan.....

masalah akreditasi institusi pendidikan juga mungkin bisa menjadi titik masuk yang bisa dicermati, hal yang menarik bahwa nilai akreditasi kesan nya hanya menjadi pengankat pamor, kalo akreditasi bisa menetapkan reward dan punishmen yang jelas, seperti kasus adam air, saya rasa bisa mengugkit mutu pendidikan kedokteran secara nasional....

ketika koass, rumahsakit pendidikan mempunyai sistem pandidikan yan berjenjang supervisor, ppds, koass.... menjadi permasalahan ketika mereka punya nip yang berbeda, ada depkes ada dinas pendidikan, coba kita lihat ketika pengajar tidak dididik untuk mengajar, menarik ketika semua orang bisa mengajar, fokus utama pendidik adalah mendidik ketika standard pendidikan tidak ada ruwet rasanya, apakah perlu ada standard kompetensi untuk para pendidik koas dirumah sakit? hahahahahahahahah jadi ada unit khusus yang mentraining para supevisor atau pembibing koass di rs...... betapa sulitnya...........

kondisi ideal secara tertulis sudah ada, ketika muncul standard kompetensi, kondisi ideal dilapangan tergantung sikon... yang jelas kondisi ideal di lapangan menuntut kita lebih kreatif, dan menimba lebih banyak lagi....

apakah diskusi di forum ini sampai pada tahap penyipulan oleh super moderator? saya rasa jadi hal yang menarik jika setiap diskusi bisa ditarik benang merahnya, berbentuk opini.... usul loh hahahahaha senang bisa berdiskusi dgn anda2 sekalian
Reply
#19
hahahaha pertama saya ingin nyatakan adalah, saya berbicara disini bukan sebagai super moderator, atau apalah yg ada di titel saya disini pak ^_^ saya tidak berusaha menyimpulkan suatu diskusi atau pembicaraan bukan? anda bisa lihat dari post post saya diatas, apakah saya menyimpulkan ? ^_^ dan tidak, mungkin diskusi ini tidak akan selesai sampai kapan pun, karena diskusi ini mungkin tidak akan sampai kepada penentu kebijakan, dan ilmu, pengetahuan, cara dan lainnya itu sendiri akan selalu berkembang, manusia tidak akan pernah puas dengan apa yg sudah dia capai, karena kalau sudah puas dengan apa yg dia capai, tidak akan ada lagi perkembangan ilmu, pengetahuan, dan lainnya pada manusia ^_^ disini kita sama sama mencurahkan apa yg kita tahu dan apa pendapat kita pak. itu yg di harapkan disini, bukan kesimpulan nya.

Pak kalau anda bilang berkompeten ^_^ .... coba anda lakukan SC di jakarta di tempat praktek pribadi anda atau di klinik pribadi bapak padahal anda dokter umum, anda pasti dihukum pak ^_^ coba anda baca baik baik kata kata saya diatas. saya hanya mencontohkan kuretase karena itu paling mudah melakukannya dan paling kotroversial ^_^

humm tersirat dari kata kata anda, anda menyalah kan KKI karena menyebutkan "melihat" sudah diangap berkompeten, baik saya balik pak, anda dokter sangat terpencil, anda tidak bisa rujuk pasien anda, dan pasien tersebut pendarahan berat, anda harus histerektomie, atau kasus app akut nah kalau anda disebutkan terampil didalam standar kompetensi, dan pada kenyataannya anda selama pendidikan hanya sebagai asisten atau baru pernah jadi operator 2 atau jadi operator 1 beberapa kali, anda tidak bisa disebut terampil. akibatnya apa? bila anda histerektomie tu pasien atau operasi tu pasien, anda bisa masuk bui pak, walau anda berhasil menyelamatkan pasien anda, menurut saya kata kata itu untuk memayungi dokter pada keseluruhaan situasi, bukan hanya satu situasi saja, karena menurut saya KKI itu ibaratnya MPR dalam suatu negara dia membuat UUD nya pak, bukan hanya buat UU, dimana di tiap UUD ada pasti undang undang lain yg mengaturnya dan pasti tiap undang undang bila diperlukan ada peraturan lain yg mengaturnya.

Nah seharusnya tidak hanya garis besar umum itu saja yg menjadi dasar suatu FK untuk menetukan pembuatan kurikulumnya. tetapi juga peraturan lain juga di jadi kan salah satu dasar universitas untuk menetapkan suatu kurikulum pendidikan dokter, jadi dari berbagai sisi, tidak hanya melihat dari apa yg ada di KKI. universitas kan bukan kerbau yg di cucuk hidungnya, mereka bisa berpikir, meneliti, dan develop, bukan begitu pak?

Yup untuk alasan kedua bapak itu saya sangat setuju, karena itulah di buat UKDI untuk menyama ratakan apakah ini dokter berkompetensi atau tidak.

heheh humm apakah bapak orang universitas? tentu bapak tau ada beberapa FKS yg terancam untuk berhenti ? dan berapa banyak FKS yg sudah berhenti, dan ada FKN yg nyaris kena kalau kita bicara pada domain dunia kedokteran ^_^ saya rasa ada sistem pusnismen disini, AFAIK untuk masalah itu biasanya kopertis yg menentukanya apakah layak atau tidak sebuah FK. Dan yg lucu pak, adam air baru di bekukan sekarang sesudah ada terjadi beberapa kasus, nah FKS yg sudah berhenti yg saya sebutkan diatas, mereka berhenti tanpa kasus seperti adam air yg saya tau untuk salah satu alasannya adalah karena mereka tidak mempunyai fasilitas yg cukup untuk menjalankan program pendidikan dokter. Jadi kalau mau bicara kejam, dunia kita jauh lebih kejam bukan? kalau menurut saya wajar seperti itu karena perkerjaan kita menyangkut nyawa orang ^_^ walau sama dengan adam air dan perusahaan oto bus lainnya ^_^, tapi kita di ikat dengan peraturan yg jauh lebih ketat.

Dan memang berita ini tidak sampai masuk koran, tapi kejadian yg saya sebutkan diatas memang ada, dan mungkin bagi rekan wartawan untuk meliput berita tutupnya suatu FK tidak semenarik tutupnya maskapai penerbangan ^_^

IMHO dokter ahli yg menjadi pendidik koas yg memang sudah memiliki gelar konsulen, sudah wajar menjadi pendidik, karena beliau pun menjadi pendidik PPDS, dan setahu saya standar pendidikan sudah ada untuk tiap tiap rumah sakit, kurikulum pak, mana mungkin tidak ada kurikulum pendidikan?, nah mungkin kalau ingin di permasalahkan, adalah, apakah kurikulum tersebut sesuai dengan standart? nah untuk beberapa center mereka tukar pengalaman dengan center lain untuk mencari kurikulum yg terbaik yg sesuai dan memenuhi standart pendidikan, disini lah kopertis berperan, untuk nanti menentukan apakah FK tersebut layak atau tidak.

Pak, coba anda lihat fakultas lain, eknomi contohnya, dosen ekonomi lebih sempitnya, apakah mereka mengikuti pendidikan sebagai pengajar? apakah mereka mempunyai gelar khusus untuk mengajar?, benar tidak semua dosen bisa menjadi pengajar yg baik, tergantung dari pribadinya sendiri.

saya punya khusus untuk itu, a lecturer is not a teacher, but a lecturer can be a teacher ^_^ kenapa saya mengunakan bahasa inggris, karena orang indonesia selalu menganggap guru adalah untuk sd smp dan sma, padahal kalau mengikuti asal bahasa dari guru, arti guru itu sangatlah luas, sama dengan teacher siapapun bisa jadi teacher, tapi tidak semua orang bisa jadi lecturer dia harus mengikuti pendidikan tertentu di bidang yg akan dia ajarkan.

Jadi menurut saya, tidak perlu adanya unit khusus yg mentraning supervisor/kosulen/dokter ahli karena secara ke ilmuan dia berhak untuk mengajar mahasiswanya. dan tentu di lingkungan yg sudah disiapkan khusus untuk itu.

Yup mengenai kondisi ideal memang sudah ada, yaitu kalau bicara program pendidikan dokter, adalah sylabus atau kurikulum. Kalau bicara kompetensi, UKDI menjadi salah satu contohnya.

Hum seperti yg saya sebut di atas pak, sebaiknya tidak di tarik kesimpulan dari diskusi yg sudah ada, selain alasan diatas, saya tidak berkompeten untuk menyimpulkan suatu diskusi, karena bila saya simpulkan, dan apalagi membentuk suatu opini, yg ada itu adalah opini sebagian kecil orang yg berdiskusi dithread ini saja, bukan opini yg ada di forum ini secara keseluruhan, karena tidak semua orang yang menjadi anggota forum ini berdiskusi, bila dari forum ini saja tidak tercakup, apalagi pendapat teman sejawat lainya pak ^_^

yup saya senang bisa berdiskusi dengan anda pak. ini menunjukan kalau sebenarnya kita semua concern sama pendidikan dokter di indonesia.

wah saya mohon maaf saya reply panjang lagi ^_^ karena saya ingin bapak dan teman teman yg lain bisa mengerti apa yg ada di otak dan yg ingin saya utarakan.
Sekali lagi terima kasih pak.
[Image: aliensign.jpg]
Reply
#20
kawan, jangan panggil pak lah hahahahahahahahaha tua kali rasanya hahahahahahahahahaha begini, sys setuju dng semua yang anda utarakan diatas, setuju krn smua melihat kondisi yang ideal dari kacamata seorang dokter, terlepas anda memakai kacamata atau tidak hahahahahaaha.... begini gimna kalo kitabuat mata rantainya, trus kita liat dimana yang menggelitik,.....


mahasiswa yang masuk belajar, masuk mengikuti perkuliahan, dosen ada, kurikulum ada,lalu koass ,supervisor ada dan bagus, silabus bagus, diikuti dgn baik, lulus dokter, mengabdikan diri, dilapangan sesuai sikon, dan berhak menempatkan diri dimana aja seluruh indonesia, hasil pengabdian subjektif.....

menurut anda mata rantai mana yang mesti di benahi? atau ada rantai yang hilang?
Reply


Possibly Related Threads…
Thread Author Replies Views Last Post
  Dokter Indonesia tidak diakui di singapore DrCinta 11 21,591 Thursday, 19 July 2018, 14:36
Last Post: derlina
  TBC Tetap Urutan Ke-3 di Indonesia Jangle 0 4,179 Monday, 29 March 2010, 22:45
Last Post: Jangle
  Belum Ada Dokter Asing yang Diberi Izin Praktek Jangle 0 3,950 Monday, 29 March 2010, 22:09
Last Post: Jangle
  Aspartam Si Manis yang Menuai Kontroversi Jangle 0 3,488 Monday, 29 March 2010, 21:40
Last Post: Jangle
  Survey Dokter Indonesia dr.samia 1 5,216 Monday, 15 February 2010, 08:19
Last Post: Jangle
  Salary Dokter indONEsia dan Lainnya suhu 7 13,094 Thursday, 07 January 2010, 11:25
Last Post: grad_HAM
  KENAPA BIAYA KURSUS,SEMINAR,SYMPOSIUM KEDOKTERAN MAHAL??? anidda82 9 13,794 Sunday, 06 December 2009, 11:05
Last Post: grad_HAM
  Tanya Sekolah Kedokteran di LN kuncungs 5 9,457 Friday, 09 October 2009, 20:34
Last Post: darknetwork
  Flu Babi Mengancam Kita !! Jangle 3 7,050 Friday, 29 May 2009, 11:52
Last Post: asbud
  Help dun.. About pnyakit klamin.. Pingin interview.. Buat tugas.. melz 3 6,491 Thursday, 30 April 2009, 14:53
Last Post: alien

Forum Jump: